Rasa lelah yang mendera ketika sampai di Summit Ridge hanya terasa sebentar saja. Begitu saya berdiri tegak di punggungan yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter, pemandangan yang terhampar di sekeliling sungguh membuat saya terlupa dengan rasa lelah. Puncak Sukarno – Sumantri dengan es abadinya serta jajaran pegunungan di daerah Sugapa / Ugimba di Utara, tambang Grasberg PT Freeport Indonesia dan Puncak Idenburg di Barat, serta hamparan hutan hijau Papua yang diselimuti kabut tipis di Selatan. Saya bahkan dapat melihat samar-samar garis pantai di horizon. Benar-benar pemandangan yang luar biasa, setelah segala upaya yang kami lakukan untuk bisa sampai ke tempat ini.
Tetapi perjalanan belum selesai, puncak Pyramid belum tergapai..
Pandangan kembali saya arahkan ke Timur ke jajaran punggungan di depan. Saya bergegas berjalan mengikuti tali pengaman yang terpasang ke arah Burma Bridge yang terpasang di celah di atas Kandang Babi (alm. Norman Edwin yang menamai tempat ini pada saat melakukan ekspedisi pendakian melalui jalur Selatan pada tahun 1993). Furji sudah sampai lebih dahulu, sementara Anggit sudah menyeberangi Burma Bridge dan menunggu kami berdua di ujung timur jembatan.
Burma Bridge yang menjadi akses untuk melewati celah di atas Kandang Babi ini berupa tiga utas tali baja yang terpasang dan menghubungkan kedua sisi celah yang berjarak sekitar 30 meter. Satu tali baja digunakan sebagai pijakan kaki pada saat menyeberang, sedangkan dua tali lainnya digunakan untuk mengaitkan karabiner yang tersambung ke sit harness sebagai pengaman selain digunakan juga sebagai pegangan tangan pada saat menyeberang. Sebelum adanya jembatan yang pertama kali dipasang oleh team yang dipimpin oleh Kang Tedi Ixdiana pada tahun 2015 ini setiap pendaki harus menyeberangi celah ini menggunakan teknik tyrolean traverse menggunakan tali pengaman yang terpasang. Dengan adanya Burma Bridge ini, setiap pendaki hanya membutuhkan waktu sekitar 1-2 menit saja untuk menyeberang, jauh lebih cepat dibandingkan menggunakan teknik tyrolean yang membutuhkan 10-15 menit per orang.
Saya bersiap menyeberangi Burma Bridge, sementara Anggit menunggu di sisi Timur jembatan. Kedua ascender yang saya gunakan selama memanjat saya lepas dahulu dan kaitkan di pinggang, agar tidak mengganggu pada saat saya berpegangan ke tali jembatan. Dua karabiner yang tersambung ke sit harness saya kaitkan masing-masing ke tali di kiri dan kanan saya, sebelum mulai melangkah perlahan di atas tali pijakan. Saya melangkah satu-persatu sambil memusatkan perhatian dan pandangan mata ke tali pijakan di bawah kaki saya. Teman-teman pendaki banyak yang berkata kalau pemandangan di kiri-kanan (dan bawah) jembatan sangat luar-biasa. Tetapi saya memilih untuk fokus pada tali saja, daripada nanti malah kehilangan konsentrasi. Tidak sampai dua menit, saya sudah sampai di ujung Timur jembatan. Setelah saya membereskan peralatan dan bersiap melanjutkan pendakian, Furji menyusul menyeberang.
Di basecamp Yellow Valley, Alan, koordinator basecamp dan team support, terus memantau pergerakan kami berenam melalui radio komunikasi. Team pendaki membawa dua unit radio komunikasi, masing-masing dipegang oleh Ardhin sebagai team leader dan Furji sebagai sweeper. Alan juga lah yang melaporkan setiap pergerakan dan kemajuan team pendaki ke koordinator ekspedisi dari Eiger melalui telepon satelit, dan juga melaporkan informasi yang sama kepada Mimma, anggota team support yang standby di Tembagapura dan bertugas melaporkan jalannya ekspedisi dan pendakian kepada keluarga anggota team ekspedisi melalui aplikasi pesan singkat WhatsApp. Selain itu, Alan juga membawa dan mengoperasikan drone untuk meliput jalannya pendakian. Sebenarnya rencana awal adalah menerbangkan drone pada saat hari sudah cukup terang dan team sedang bergerak di Summit Ridge. Tetapi sayangnya ternyata ketinggian maksimum drone yang dioperasikan tidak bisa mencapai Summit Ridge, sehingga rencana tersebut terpaksa dibatalkan.
Rintangan berikutnya adalah Patahan Satu. Dibutuhkan trik khusus untuk bisa menyeberangi patahan ini. Saya harus turun dulu perlahan menggunakan figure-eight descender sementara satu ascender saya kaitkan di tali pengaman yang lain sejauh mungkin ke arah tepi di seberang. Setelah satu kaki berhasil mendapatkan pijakan di tepi seberang, kaki yang lain menjejak ke tebing untuk mendorong badan ke seberang. ”Sampeyan sih enak Mas, tinggi”, kata Anggit. Memang, patahan ini akan lebih mudah dilewati apabila tinggi badan kita ’cukup memadai’. Saya dan Furji sangat terbantu dengan tinggi badan kami. Tapi teknik dan pengalaman pun sangat berpengaruh. Buktinya, Anggit yang memiliki tinggi badan ’tidak seberapa’ dibanding kami berdua bisa melewati patahan ini dengan jauh lebih mulus. Patahan Dua yang lebih lebar daripada patahan yang pertama pun dia lewati dengan mudah. Setidaknya, menurut saya Anggit tidak terlihat kesulitan sama sekali ketika melaluinya. Trik melewati Patahan Dua juga mirip dengan patahan sebelumnya, hanya saja jarak kedua tepiannya lebih lebar dan beda ketinggian di kedua tepian juga lebih besar.
Punggungan di antara Patahan Satu dan Patahan Dua bukan lagi berupa dataran sempit selebar 1-2 meter seperti punggungan sebelum Burma Bridge, tapi hanya berupa celah sempit di antara batuan tajam yang berada di puncak tebing yang hampir vertikal. Jika melirik ke sebelah kiri, kita bisa melihat jajaran tenda-tenda di Yellow Valley yang tampak sangat kecil, sekitar 600-700 meter di bawah. Di beberapa tempat kami bahkan hanya berpijak di batuan tajam yang ada karena celah yang terlalu sempit. Jika tidak ada tali pengaman yang terpasang, saya tidak yakin saya punya nyali untuk melewati bagian ini. Dengan tali pengaman pun kita tetap harus sangat berhati-hati dalam melangkah di atas batuan tajam ini agar sepatu tidak robek atau terjepit di antara batuan..
To be continued..